Molnupiravir merupakan obat COVID-19 eksperimental besutan Merck. Obat ini tengah ramai dibicarakan karena khasiatnya yang dipercaya mampu mencegah riisko pasien dirawat di rumah sakit dan meninggal hingga 50 persen.
Meski harganya yang cukup mahal, sudah banyak negara yang mulai tertarik dengan obat tersebut, salah satunya Indonesia. Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin pun mengatakan saat ini pihak Kementerian Kesehatan tengah bekerja sama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan sejumlah rumah sakit vertikal untuk mereview dan melakukan uji klinis obat-obatan baru, termasuk molnupiravir.
"Jadi obat-obatan tersebut sudah kita approach pabrikannya dan kita juga sudah merencanakan untuk beberapa sudah mulai uji klinis," kata Menkes dalam siaran pers PPKM, Senin (4/10/2021).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dan diharapkan di akhir tahun ini, kita sudah bisa menngetahui obat-obat mana yang kira-kira cocok untuk kondisi masyarakat kita," ujarnya.
Berikut beberapa fakta soal molnupiravir yang wajib diketahui:
1. Obat oral pertama untuk COVID-19
Sejumlah obat COVID-19 selama ini diberikan dengan cara injeksi. Namun, molnupiravir ini menjadi obat oral untuk Corona yang pertama di dunia. Beberapa perusahaan lain juga mengembangkan obat yang serupa, seperti Pfizer, Atea Pharmaceutical, dan Roche, tetapi uji klinisnya baru akan dilakukan bulan depan.
2. Hasil uji klinis
Uji klinis molnupiravir melibatkan 77 pasien COVID-19 dengan kategori ringan-sedang yang memiliki sedikitnya satu faktor risiko perburukan, seperti diabetes dan penyakit jantung. Dalam uji klinis tersebut, 5 hari setelah gejala muncul, sebagian relawan secara acak mendapat molnupiravir selama 5 hari. Sementara sisanya mendapat plasebo.
Hasilnya, sebanyak 14,1 persen pasien yang diberikan plasebo dirawat di rumah sakit dan meninggal. Untuk pasien yang mendapat molnupiravir, hanya 7,3 persennya yang masuk rumah sakit dan tidak ada satupun yang meninggal dunia.
3. Efek samping
Menurut laporan Merck, molnupiravir tidak menyebabkan efek samping yang serius pada relawan dalam uji klinis tersebut. Adapun beberapa efek samping yang muncul mayoritas ringan, seperti sakit kepala. Tetapi, sulit membedakan apakah efek samping itu muncul karena molnupiravir atau termasuk gejala COVID-19.
Bagaimana cara kerjanya dan berapa harga molnupiravir ini? Klik ke halaman selanjutnya.
4. Cara kerja
Obat molnupiravir ini bekerja dengan memodifikasi material genetik atau RNA virus Corona. Modifikasi ini menciptakan error, sehingga mampu memblok virus untuk menggandakan diri.
5. Jadi obat COVID-19 yang cukup menjanjikan
Menurut ahli epidemiologi Dicky Budiman Universitas Griffith Australia, molnupiravir ini termasuk obat COVID-19 yang menjanjikan. Selain manfaatnya yang mampu mencegah rawat inap dan kematian, obat yang dikemas dalam bentuk tablet ini akan mudah untuk didistribusi ke seluruh wilayah.
"Nah ini kan kalau bicara kapsul lebih banyak yang bisa dijangkau. Hanya sayangnya ini mahal ya, jutaan, kurang lebih. Tapi ini data awalnya sudah menjanjikan, bahkan lebih baik dari monoklonal antibodi yang selama ini banyak dipakai orang," kata Dicky saat dihubungi detikcom, Minggu (3/10/2021).
"(Obat) Ini akan menjadi memperkuat lini hilir di terapi, sehingga vaksin sudah ada, obat antiviral sudah ada. Nah ini artinya akan menjadi masa transisi ke endemi ini akan sedikit orang yang menjalani ICU apalagi harus ventilator, dan kematian tentu berkurang," lanjutnya.
6. Harga yang fantastis
Selain khasiat obat yang menjanjikan, harga dari molnupiravir ini cukup mahal hingga berjuta-juta. Meski begitu, ini tidak menghalangi negara-negara membelinya untuk merawat pasien COVID-19.
Korea Selatan juga diketahui mengamankan molnupiravir, obat oral COVID-19 besutan perusahaan Amerika Serikat, Merck and Co untuk 18 ribu orang, harga perawatannya diperkirakan mencapai 900.000 won per orang atau sekitar 10 juta rupiah.
7. Dilirik sejumlah negara Asia
Tak hanya Indonesia, obat molnupiravir ini mulai dilirik dan diminati beberapa negara di Asia. Negara-negara tersebut yaitu Korea Selatan, Malaysia, Thailand, dan Taiwan. Bahkan yang terbaru, Thailand diketahui telah memesan sebanyak 200.000 program kapsul antivirus ini.
Simak Video "Video Pakar: Flu Burung Picu Pandemi yang Lebih Parah Dibanding Covid-19"
[Gambas:Video 20detik]
(sao/naf)











































