Pelabelan BPA pada AMDK (Air Minum Dalam Kemasan) galon guna ulang polikarbonat (plastik keras) oleh BPOM diendus oleh Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) dapat memicu persaingan tidak sehat di pasar. Namun, menurut pakar ekonomi dan bisnis Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Tjahjanto Budisatrio hal itu justru akan membuat pasar AMDK galon menjadi lebih sehat. Kok bisa?
"Persaingan yang sehat akan terjadi jika konsumen makin sadar akan kesehatannya," kata Tjahjanto dalam keterangan tertulis, Sabtu (23/4/2022).
Hal ini ia sampaikan dalam webinar yang diselenggarakan oleh FMCG Insights bertema 'Pelabelan BPA: Menuju Masyarakat Sehat dengan Pasar Sehat', Kamis (21/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, Tjahjanto menjelaskan pelabelan BPA akan membuat orang sadar untuk memilih antara produk yang telah memiliki label atau produk yang tidak mengandung BPA. Selain itu, hal ini juga akan memicu produsen produk yang mengandung BPA untuk memperbaiki produknya dan berinovasi agar tetap dapat bersaing.
Baca juga: Bisnis AMDK Dibayangi Hoaks BPA Galon |
"Inilah kondisi yang disebut dalam dunia ekonomi sebagai contestable market. Inilah kondisi yang kita harapkan, bahwa pasar mengarah kepada kondisi yang benar-benar bersaing secara sehat," imbuh dia.
Menurut Tjahjanto, pengusaha memang harus kreatif dan berinovasi dalam memenuhi tuntutan masyarakat, terutama dalam kaitan dengan masalah kesehatan. "Jika tidak mau berubah, siap-siaplah hilang dari pasar karena masyarakat saat ini sangat menuntut masalah kesehatan," katanya.
Ia menjelaskan BPA merupakan bahan kimia yang menjadi bahan baku dalam proses produksi kemasan plastik keras atau polikarbonat. Dalam ratusan publikasi ilmiah, BPA disebut dapat menyebabkan beberapa penyakit, antara lain kanker dan gangguan hormonal terkait kesuburan.
Menurutnya, fakta ilmiah tersebut menimbulkan negative externality atau dampak negatif dalam aktivitas bisnis. Ketika kondisi ini terjadi, kata Tjahjanto, pemerintah harus ikut masuk untuk memperbaikinya.
Ia mencontohkan kebijakan pemerintah yang mewajibkan pelabelan bahaya merokok pada kemasan rokok dan pelarangan merokok di ruang publik agar masyarakat sadar akan potensi bahaya tersebut. Kebijakan ini juga untuk menghindari pemerintah serta industri dari potensi gugatan di masa depan.
"Ini karena kondisi tersebut bisa menimbulkan kegagalan pasar atau market failure di masa depan," katanya.
Tjahjanto menilai pasar AMDK galon di Indonesia pun relatif kurang sehat. Hal ini karena adanya lock-in (penguncian pelanggan) pada produk tertentu. Dalam hal ini, ia menjelaskan konsumen harus mendeposit sejumlah uang untuk mendapatkan galon A, namun tidak bisa menukarnya dengan galon B jika galon A tidak ada di toko.
"Adanya lock-in dan kemudian biaya penggantian (switching cost) menciptakan rintangan untuk masuk pasar (barrier to entry), dan produsen yang melakukan lock-in secara kuantitas akan menjadi sangat dominan di dalam pasar ini," katanya.
"Dalam teori, kondisi ini disebut oligopoli model Stackelberg," imbuhnya.
Baca selengkapnya
Dalam webinar yang sama, peneliti administrasi hukum dari Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Ima Mayasari menyebut Rancangan Peraturan BPOM tentang Perubahan Kedua atas Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan telah sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum. Aturan ini juga sejalan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pangan olahan.
Menurut Irma, hal tersebut juga merupakan peraturan yang baik. Terlebih telah diterapkan di sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Kanada, Perancis, Denmark, Swedia, Austria, dan Belgia. Meski demikian, peraturan tersebut saat ini harus didesain dengan mempertimbangkan praktik-praktik terbaik di dunia internasional.
"Benchmark-nya sudah dilakukan di negara-negara lain. Jadi, bukan saatnya lagi kita hanya melihat lingkup nasional," ungkapnya.
Baca juga: Waduh, Bayi Bisa Terpapar BPA Lewat ASI Ibu |
Dari proses perumusan, penyusunan, hingga harmonisasi, Ima melihat BPOM telah mengimplementasikan praktik-praktik terbaik, seperti melakukan berbagai kajian ilmiah dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
"Saya melihat rancangan peraturan BPOM ini lahir dengan evidence-based policy making dan stakeholders engagement yang sangat kuat. Mereka (BPOM) bahkan sampai melakukan pengecekan di dalam laboratorium terkait dengan paparan BPA itu sendiri," paparnya.
Oleh sebab itu, Ima menegaskan tidak layak jika rancangan peraturan BPOM itu disebut 'vonis mati' bagi produk AMDK galon berkemasan plastik keras (polikarbonat).
"Sebuah peraturan pasti ada waktu penyesuaiannya, dan dalam kaitan ini paling lama tiga tahun sejak peraturan badan diundangkan. Apalagi ada regulatory impact assessment (penilaian dampak regulasi) dimana (BPOM) tentu mempertimbangkan keberlanjutan industri," ungkapnya.
Dalam kesempatan ini, Ima juga menanggapi terkait persoalan rancangan peraturan BPOM tersebut yang hingga kini belum disahkan. Menurutnya, hal itu masih dalam batas kewajaran.
"Saya rasa itu masih dalam proses ya, karena sekarang kan setiap peraturan kementerian dan badan harus melalui persetujuan presiden dulu," katanya.
Sementara itu, Manager Regional PT. Sariguna Primatirta Tbk, produsen AMDK galon 'Cleo', Yohanes Catur Arkiyono mengatakan pihaknya mendukung penerbitan peraturan BPOM terkait kewajiban pelabelan BPA pada AMDK galon.
Yohanes menyarankan para pengusaha AMDK galon agar tidak khawatir dengan rencana regulasi BPOM tersebut. Ia menyebut regulasi tersebut penting demi kesehatan konsumen dan mendorong mereka untuk terus berinovasi.
"Kami sudah sejak 2003 memproduksi galon non-BPA karena mengantisipasi perkembangan soal BPA ini di dunia internasional," katanya.
"Pelaku usaha yang menggunakan galon polikarbonat tapi paparan BPA-nya masih di bawah batas yang ditetapkan BPOM, kenapa mesti khawatir?" tutupnya.
Simak Video "Inestigasi KKI: 57% Galon Beredar Beresiko pada Kesehatan, Usia >2 Tahun"
[Gambas:Video 20detik]
(prf/ega)











































