'Vaksin Nusantara' Masuk Jurnal Internasional, Pakar Sebut Besar di Ongkos

'Vaksin Nusantara' Masuk Jurnal Internasional, Pakar Sebut Besar di Ongkos

Vidya Pinandhita - detikHealth
Jumat, 27 Mei 2022 17:00 WIB
Vaksin Nusantara Masuk Jurnal Internasional, Pakar Sebut Besar di Ongkos
Mantan Menteri Kesehatan RI Terawan Agus Putranto. Foto: Lamhot Aritonang
Jakarta -

Peneliti utama vaksin Nusantara besutan mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, Kolonel Jonny, membagikan tautan berisi publikasi terkait vaksin berbasis sel dendritik di jurnal internasional. Di samping menyoroti potensi sel dendritik membentuk kekebalan dari virus Corona, jurnal tersebut juga menyinggung ongkos dan tantangan produksi vaksin dendritik.

Kendala tersebut juga disinggung oleh epidemiolog Dicky Budiman dari Universitas Griffith Australia. Ia melihat publikasi tersebut hanya berfokus pada basis sel dendritik pada vaksin, namun tidak secara spesifik menyebut nama 'vaksin Nusantara'.

"Ini adalah dendritik sel vaksin. Kan nggak ada di sini namanya vaksin Nusantara, dan hasil dari riset yang sayangnya di sini hasil dari riset vaksin Nusantara-nya atau dendritik sel vaksin yang dilakukan ini tidak muncul di sini atau belum. Karena ini memang literature review sebenarnya, wajar," terang Dicky pada detikcom, Jumat (27/5/2022).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meski Dicky melihat potensi pengembangan sel dendritik, masalah ongkos produksi dan distribusi tak luput dari sorotan. Pasalnya, layanan kesehatan masyarakat seperti vaksin seharusnya bersifat efektif dan mudah diakses.

"Setidaknya ini langkah bagus untuk lebih pendekatannya memang harus ilmiah sehingga ini bisa jadi salah satu opsi. Sebagaimana saya sampaikan sejak awal potensinya memang ada di dendritik sel vaksin ini," beber Dikcy.

ADVERTISEMENT

"Selalu menjadi tantangan dan juga disampaikan dalam review-nya adalah masalah ongkosnya yang besar, tuntutan dari mulai SDM dan aspek lainnya yang ini tentu kalau bicara strategi kesehatan masyarakat kan menjadi sulit. Kalau strategi kesehatan masyarakat kan harus mudah, murah, dan cepat, efektif," pungkasnya.

Biaya produksi yang tinggi serta dibutuhkannya uji klinis memang tercantum dalam publikasi yang dibagikan oleh Jonny bertajuk 'Dendritic cell vaccine as a potential strategy to end the COVID-19 pandemic. Why should it be Ex Vivo?', Jumat (27/5). Pasalnya, produksi vaksin berbasis dendritik membutuhkan fasilitas khusus sehingga sulit didistribusikan secara luas dan praktis.

"Biaya produksi dari pendekatan ini cukup tinggi, namun tergantung pada jumlah produksi. Produksi vaksin dengan metode ini juga membutuhkan fasilitas khusus, sehingga distribusi yang luas mungkin tidak praktis. Di sisi lain, potensi menginduksi kekebalan jangka panjang dan lebih luas akan menghilangkan kebutuhan akan booster yang sering. Sehingga total biaya produksi pada akhirnya dapat menjadi cost-effective dibandingkan dengan vaksin konvensional," tertulis dalam artikel.

"Di sisi perawatan seperti rumah sakit dan laboratorium medis, dapat menjadi solusi untuk keterbatasan praktis dari pendekatan ini. Simpulannya, pendekatan ini sesuai untuk vaksin COVID-19. Profil keamanan dari pendekatan ini harus memungkinkan studi klinis untuk dilanjutkan," sambungnya.

Halaman 3 dari 2
(vyp/up)

Berita Terkait