Sejumlah negara, salah satunya China, kini melaporkan 'penyusutan' populasi imbas 'resesi seks'. Pasalnya, warga termasuk para wanita enggan menikah, berhubungan seks, serta memiliki atau membesarkan anak.
Dilihat dari ranah psikologi, ada banyak faktor penyebab wanita enggan menikah dan punya anak. Di antaranya, yakni kencangnya tuntutan dan stigma pada wanita untuk menjadi ideal sesuai standar sosial. Walhasil, di era modern dengan keterbukaan informasi dan ruang berpendapat, semakin banyak wanita memilih untuk tidak menikah dan mempunyai anak.
"Semakin ke sini kita menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan yang semakin besar. Otomatis itu berdampak kepada bagaimana kesiapan kita untuk menikah, menjadi ibu, mengurus anak. Bahkan banyak kok perempuan yang memutuskan (punya anak) satu saja. Bukan karena mereka nggak mau punya anak lagi, tetapi mereka tahu (mempunyai anak) sangat menantang ke depannya," ujar psikolog pendidikan sekaligus influencer Indah Sundari Jayanti, MPsi, saat ditemui detikcom di Jakarta Selatan, Kamis (25/8/2022).
Penyebab kedua yakni semakin sulitnya tantangan untuk membesarkan anak, terlebih di kota besar. Bukan hanya perihal materil dan biaya, melainkan juga menjaga anak dari terpaan pergaulan di kota besar.
"Biaya sekolah, membesarkan anak di kota besar yang pergaulannya juga harus sangat diperhatikan. Itu tantangannya di situ. Jadi aku rasa, hal-hal itu menjadi beberapa alasan yang membuat banyak perempuan memutuskan untuk nggak mau menikah atau punya anak," beber Indah lebih lanjut.
Terakhir menurutnya, semakin banyak informasi tentang wanita enggan menikah dan membesarkan anak, semakin banyak orang memutuskan untuk melakukan hal serupa.
Terdapat kemungkinan, keengganan untuk menikah dan mempunyai anak sudah lama dirasakan oleh seorang wanita. Dengan melihat banyak orang lain melakukan hal serupa, wanita tersebut merasa tervalidasi sehingga menjadi tidak ragu untuk mengikuti keinginannya.
"Semakin banyak orang yang berani berpendapat seperti itu, membuat semakin banyak orang yang merasa bahwa nggak apa-apa saya berpendapat seperti itu. Toh dia (orang lain) juga melakukan yang sama," jelas Indah.
"Jadi ada semacam komunikasi persuasi antara satu dan lain perempuan. Semakin banyak orang yang ngomong begitu, bentuk perilakunya juga akan semakin nyata. Akhirnya karena banyak yang speak up, banyak juga perempuan merasa terwakilkan dan merasa nggak apa-apa kalau melakukan hal yang sama," pungkasnya.
Simak Video "Populasi Menurun dalam 60 Tahun, Generasi Muda China Enggan Berkeluarga"
[Gambas:Video 20detik]
(vyp/naf)