Indonesia darurat kasus kekerasan dan pelecehan seksual. Bagaimana tidak, menurut catatan Komnas Perempuan, dalam tiga jam ada satu perempuan yang diperkosa.
Dampak yang dirasakan korban akan sangat kompleks, mulai dari aspek psikologis seperti trauma dan depresi sampai berpengaruh ke kesehatan mereka karena bisa mengalami HIV, infeksi menular seksual, bahkan kehamilan yang tidak direncanakan.
Pemulihan bagi korban kekerasan dan pelecehan seksual harus mencakup tiga aspek, mulai dari layanan psikososial, medis, sampai hukum. Hanya saja para korban banyak yang tidak tahu bagaimana cara mengumpulkan alat bukti agar bisa menjerat pelaku.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dokter forensik dr Sumy Hastry Purwanti, DFM, SpF dari Polda Jawa Tengah mengatakan pemeriksaan visum dan forensik penting untuk melengkapi alat bukti dalam kasus pelecehan seksual. Tapi bagaimana cara mengumpulkan bukti-bukti tersebut?
Jika kasus pelecehan seksual melibatkan fisik seperti menyentuh atau membelai korban, baju yang dipakai pada saat itu bisa dibawa ke pihak kepolisian untuk menjadi bukti.
"Itu bisa menjadi alat bukti untuk pelecehan seksual, ada epitel kulit di sidik jari yang menempel pada korban" kata dr Sumy dalam sesi diskusi di agenda The 2nd International Conference on Indonesia Family Planning and Reproductive Health di Yogyakarta, Rabu (24/8/2022).
Selain itu bila terjadi penetrasi, cairan lubrikasi yang keluar dan menempel misalnya di pakaian atau tempat tidur, bisa dijadikan alat bukti yang kuat untuk mendapatkan keadilan bagi kasusnya. Ia mengharapkan agar korban tidak langsung mencuci atau membuang pakaian atau benda saat kejadian agar bisa dijadikan alat bukti.
"Harus hati-hati juga membawanya, tempatnya dibedakan agar tidak terjadi kontaminasi," bebernya.
Jika korban mengalami pelecehan seksual dan terjadi penetrasi, penting baginya diberikan kontrasepsi darurat dalam 72 jam setelah kejadian. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kehamilan tidak direncanakan.
Hanya saja, akses kontrasepsi darurat bagi korban kekerasan seksual masih sangat terbatas.
"Akses ke kontrasepsi darurat. Kalau tidak mau aborsi, buka dong, ke kontrasepsi darurat untuk korban perkosaan," ujar dr Marcia.
Kontrasepsi darurat ini diberikan ke korban kekerasan seksual dalam 72 jam atau tiga hari usai kasus terjadi. Aturan ini juga telah masuk ke dalam Tata Laksana Pelayanan Kesehatan Seksual bagi Korban Kekerasan Seksual yang disusun oleh Kementerian Kesehatan.
"Jadi memang kurang dari 72 jam itu kita punya cukup waktu sebenarnya untuk mencegah kehamilan apabila kekerasan seksual perkosaan terjadi hubungan seksual penetratif," jelas dr Marcia.
Meski telah masuk dalam tatalaksana medis yang disusun Kemenkes, alat kontrasepsi darurat masih tidak mudah didapatkan oleh korban. Salah satu alasannya karena belum masuknya obat tersebut dalam daftar obat esensial.
Miskonsepsi tentang kontrasepsi darurat juga menjadi salah satu alasan obat ini tidak tersedia di seluruh fasilitas kesehatan.
"Dia (alat kontrasepsi darurat) tidak ada di daftar obat karena masih banyak miskonsepsi, bahwa alat kontrasepsi ini untuk aborsi. Padahal enggak, dia itu mencegah kehamilan," pungkas dr Marcia.
Simak Video "Video Data WHO: Sepertiga Perempuan di Dunia Alami Kekerasan Fisik dan Seksual"
[Gambas:Video 20detik]
(kna/up)











































