Kehamilan dan persalinan bisa meningkatkan risiko hipertensi atau darah tinggi. Kasus ini bisa terjadi bahkan pada ibu yang tidak memiliki riwayat hipertensi sebelumnya.
Dikutip dari Healthline, sebuah studi baru di Boston University School of Public Health (BUSPH) mencatat ada satu dari 10 ibu mengalami hipertensi pertama kali dalam setahun setelah melahirkan. Lebih dari 20 persen kasus ini, subjek mengalami hipertensi lebih dari enam minggu pasca melahirkan (postpartum).
"Temuan studi memiliki implikasi untuk perawatan postpartum terutama di antara pasien tanpa riwayat hipertensi," tulis Asisten Profesor Epidemiologi BUSPH Samantha Parker PhD dalam siaran pers.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penelitian tersebut telah terbit dalam jurnal American Heart Association (AHA) pada November 2022. Jurnal tersebut bertajuk 'De Novo Postpartum Hypertension: Incidents and Risk Factors at a Safety-Net Hospital'.
Faktor Risiko
Dalam penelitian tersebut, Parker bersama rekan-rekan penulisnya meninjau catatan medis 3.925 ibu hamil yang melahirkan di Pusat Kesehatan Boston pada 2016-2018. Mereka mengecualikan orang hamil yang memiliki riwayat hipertensi kronis sebelumnya, serta mereka yang mengalami preeklampsia selama kehamilan. Preeklampsia adalah gangguan hipertensi yang berpotensi menyebabkan komplikasi pada masa kehamilan.
Ketika para peneliti menganalisis pengukuran tekanan darah subjek dari sebelum mereka melahirkan hingga satu tahun setelah melahirkan, mereka menemukan bahwa 1 dari 10 terkena hipertensi postpartum pertama kali dalam setahun setelah melahirkan. Hipertensi postpartum cenderung menyerang subjek dengan ciri-ciri berikut
- Berusia di atas 35 tahun
- Perokok atau mantan perokok
- Melahirkan melalui operasi caesar (c-section)
Di antara mereka yang memiliki ketiga faktor risiko tersebut, 29% di antaranya mengalami hipertensi postpartum. Risiko tersebut meningkat menjadi 36% di antara ibu hamil berkulit hitam Non-Hispanik (berasal dari negara berbahasa Spanyol).
NEXT: Faktor Risiko Lainnya
Faktor risiko lain untuk hipertensi postpartum termasuk diabetes tipe 2, Indeks Massa Tubuh (BMI) yang melebihi angka 40, dan riwayat penggunaan narkoba.
Temuan ini konsisten dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa orang kulit hitam memiliki peningkatan risiko hipertensi postpartum serta komplikasi kehamilan dan persalinan lainnya. Ketidaksetaraan ini mungkin sebagian disebabkan oleh rasisme struktural dan diskriminasi.
"Memahami hubungan antara kehamilan dan hipertensi ini sangat penting dalam mengatasi ketidaksetaraan penyakit kardiovaskular ibu dan kematian
untuk Orang Berwarna (orang berkulit hitam)," kata Parker.
Diperlukan Lebih Banyak Penelitian Mengenai Faktor Risiko
Diperlukan lebih banyak penelitian untuk mengidentifikasi, memahami, dan mempelajari cara terbaik untuk mengendalikan faktor risiko hipertensi postpartum.
Usia yang lebih tua, BMI tinggi, diabetes tipe II, dan riwayat merokok atau penggunaan zat narkoba merupakan faktor risiko hipertensi yang diketahui secara umum. Penulis studi ini tidak memiliki data yang diperlukan untuk mengevaluasi faktor risiko tradisional lainnya untuk hipertensi, seperti pola makan, tingkat aktivitas fisik, atau kadar kolesterol.
Terkait operasi caesar, Parker mengatakan kepada Healthline bahwa orang yang melahirkan dengan metode ini lebih mudah didiagnosis terkena
hipertensi postpartum. Sebab, mereka cenderung memiliki lebih banyak kunjungan pasca operasi daripada mereka yang melahirkan secara normal.
Dengan kata lain, perawatan postpartum untuk operasi caesar dapat memberikan lebih banyak kesempatan untuk mendiagnosis hipertensi. Operasi caesar atau perawatan terkait mungkin juga dapat meningkatkan risiko hipertensi.
"Beberapa obat yang digunakan untuk mengobati rasa sakit, seperti NSAID (obat anti inflamasi non steroid), telah terbukti meningkatkan tekanan darah dan obat ini lebih sering digunakan oleh pasien operasi caesar," kata Parker.
Hambatan Perawatan Postpartum
Hipertensi postpartum dapat meningkatkan risiko seseorang terkena stroke, penyakit kardiovaskular, dan penyakit ginjal kronis di kemudian hari. Oleh karena itu, penting untuk mendiagnosis dan mengelolanya sejak dini.
Wakil Ketua Kebidanan dan Ginekologi Lenox Hill Hospital dr Eran Bornstein mengatakan wanita yang terlihat 'muda dan sehat' belum tentu terbebas dari hipertensi postpartum. Hal ini dikarenakan melahirkan merupakan peluang besar untuk meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular.
"Jika skrining yang tepat untuk risiko kardiovaskular mereka termasuk hipertensi selama kehamilan, persalinan, atau postpartum, wanita tersebut dapat dirujuk ke ahli jantung untuk pemeriksaan, pengawasan, dan pengelolaan masalah kesehatan kardiovaskular mereka serta mempertahankan perawatan berkelanjutan setelah melahirkan," ujar Bornstein kepada Healthline.
Sayangnya, standar perawatan postpartum saat ini dapat membatasi kesempatan bagi profesional kesehatan untuk mendiagnosis dan mengobati hipertensi postpartum yang berkembang setelah melahirkan. Hal ini dikarenakan standar perawatan postpartum hanya mencakup satu kunjungan klinik dalam 4 hingga 6 minggu setelah melahirkan.
Akibatnya, hipertensi postpartum yang berkembang lebih dari 6 minggu setelah melahirkan mungkin tidak terdiagnosis. Selain itu, tidak semua orang yang melahirkan mendapat perawatan postpartum standar. Sebab, di Amerika Sertikat tidak ada cuti melahirkan.
"Kami (tenaga medis) membutuhkan wanita untuk mendapatkan kunjungan postpartum dan kami juga membutuhkan kebijakan untuk memastikan wanita mendapatkan perawatan setelah 6 minggu postpartum," ujar ahli jantung Cedar-Sinai Institute Los Angeles Martha Gulati.
"Selain itu, kami sampai mengamanatkan cuti hamil federal (di seluruh negara bagian AS) untuk yang paling rentan memiliki risiko terbesar untuk tidak didiagnosis atau dirawat karena sesuatu yang sangat bisa diobati," sambungnya.
NEXT: Mengelola Risiko Penyakit Kardiovaskular
Mengelola Risiko Penyakit Kardiovaskular
Bornstein mendorong wanita hamil atau wanita yang berencana untuk hamil pergi ke dokter kandungan membicarakan riwayat kesehatan pribadi dan keluarga mereka. Langkah ini diambil untuk mengurangi risiko penyakit kardiovaskular.
Jika wanita tersebut sudah menderita hipertensi atau berisiko tinggi terkena hipertensi atau komplikasi kardiovaskular lainnya selama atau setelah kehamilan, dokter kandungan mereka dapat merujuk mereka ke spesialis kedokteran ibu-janin (maternal-fetal). Dalam beberapa kasus lainnya, wanita tersebut dirujuk ke spesialis jantung atau spesialis tekanan darah.
"Sebelum hamil, tim ini (kesehatan orang hamil) akan fokus pada penilaian komprehensif terhadap keparahan kondisi, memastikan kehamilan yang direncanakan aman, dan mengoptimalkan kondisi kesehatan untuk mengurangi potensi komplikasi kehamilan," kata Bornstein.
Tim kesehatan orang hamil juga akan memantau mereka dan janin untuk kemungkinan komplikasi. Bergantung pada faktor risiko wanita hamil, ahli kesehatan mereka mungkin meresepkan aspirin dosis rendah untuk menurunkan risiko preeklampsia selama kehamilan atau mengelola risiko
kardiovaskular setelah preeklampsia.
"Setelah melahirkan, memastikan pengawasan berkelanjutan dengan penyedia layanan kesehatan yang tepat dan pemantauan tekanan darah mandiri adalah kuncinya," kata Bornstein.











































