Pada 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan terdapat sekitar 8.677 anak berusia 0-14 tahun yang mengidap kanker anak di Indonesia. Angka ini menjadi yang terbesar bila dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya.
Dikutip dari Indonesia Cancer Care Community, kanker mata retinoblastoma menjadi kanker anak yang menduduki peringkat kedua dengan angka kejadian paling tinggi sebesar 20-30 persen. Berdasarkan data tersebut, kanker ini merupakan yang paling banyak dialami oleh anak di bawah usia 2 tahun.
Retinoblastoma adalah tumor ganas primer pada mata yang paling sering dijumpai pada bayi dan anak-anak berusia 5 tahun ke bawah. Tidak hanya dapat menyebabkan kerusakan pada mata atau kebutaan, tetapi penyakit ini juga berisiko menyebabkan kematian.
"Ada yang dilaporkan 10 tahun, tapi jarang ya, risikonya rendah, hampir nggak pernah," jelas Prof dr Rita Sita Sitorus, PhD, SpM(K), dokter spesialis mata anak di Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RS Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM), ketika ditemui detikcom, Jumat (3/2/2023).
"Di Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusomo (RSCM) ada sekitar 40 kasus baru per tahun. Dikit kelihatannya ya. Tapi kenapa jadi concern? Karena kasus retinoblastoma mematikan dan dia termasuk kelainan yang menyebabkan kematian anak nomor 2 di Indonesia berdasarkan data dari RSCM. Yang pertama kematian karena leukemia, leukemia itu kanker darah, dan yang kedua karena kanker retinoblastoma," tutur Prof Rita lebih lanjut.
Baca juga: Merawat Asa Para Pejuang Kanker Anak |
Umumnya, tanda yang paling sering dijumpai pada anak dengan retinoblastoma adalah adanya lekokoria atau manik mata berwarna putih, yaitu adanya bulatan atau bayangan putih pada bagian tengah mata. Kondisi ini juga seringkali disebut 'mata kucing' karena mata nampak bersinar kekuningan ketika berada di tempat gelap.
"Manik matanya warnanya putih yang paling sering. Dan kalau sudah putih ini yang terbanyak, tapi sayangnya sudah menunjukkan stadium yang bukan dini. Yang dini ada di dalam bola mata itu nggak kelihatan, kalau yang masih kecil nggak bisa dideteksi dengan mata kasat, ada dengan alat khusus bisa," jelas Prof Rita.
Selain itu, gejala lain yang juga banyak dijumpai adalah mata juling dan gangguan mata lainnya seperti peradangan mata, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri pada mata.
Hingga saat ini, faktor yang menyebabkan retinoblastoma pada anak belum diketahui secara pasti.
"Ada yang bilang gizi, ada yang bilang virus, ada yang diturunkan, tapi faktor penyebabnya itu belum diketahui pasti. Kalo penyebab secara molekuler adalah mutasi genetik, gen RB1 namanya," tuturnya.
Menurut Prof Rita, walaupun tergolong sebagai tumor ganas, kondisi ini memiliki angka harapan hidup yang tinggi bila ditemukan dan diobati pada stadium dini.
"Tingkat kesembuhan tuh tergantung kapan dideteksinya, kapan ditemukan saat waktu dateng didiagnosis. Makin dia dini, makin tinggi angka kesembuhannya, baik secara fungsi, secara ditahannya bola mata nggak diangkat, maupun secara kehidupan, kalau ditemukan dini," ucapnya.
Namun, pendeteksian dini inilah yang menjadi tantangan terbesar dalam penanganan kanker anak retinoblastoma di Indonesia.
NEXT: Keterlambatan penanganan jadi momok utama
(up/up)