Sebagian besar masyarakat mungkin menganggap kanker adalah penyakit mematikan dan merenggut nyawa, terutama jika dialami anak-anak. Namun, kanker anak sebenarnya tidak harus selalu demikian. Asal diketahui sejak awal gejala dan diobati pada dokter yang tepat, tidak menutup kemungkinan anak berhasil menjadi penyintas hingga ia dewasa. Oleh sebab itu, di sini orang tua memainkan peran penting sebagai pihak pertama yang harus menyadari gejala kanker dan penentu keputusan pengobatan anak.
Pentingnya peran orang tua dirasakan oleh survivor kanker mata retinoblastoma, Ine Ratnasari. Saat berusia 3 tahun, orang tuanya melihat ada kejanggalan di mata sebelah kiri Ine. Ketika diperiksa ke RS dr Cipto Mangunkusumo (RSCM), Ine didiagnosis mengidap retinoblastoma stadium 1.
"Memang harus diangkat (matanya). Kalau anak masih kecil sudah diangkat matanya 'kan 'Aduh kasian. Sayang.' Untung saat itu orang tua mikirnya mending kehilangan mata satu daripada kehilangan nyawa," kata Ine dalam perbincangan dengan detikcom, Sabtu (11/2/2023).
Ine pun menjalani operasi pengangkatan bola mata saat menginjak usia 4 tahun. Setelah menjalani 17 kali kemoterapi dan radiasi, ia dinyatakan sembuh di usia 5 tahun hingga saat ini.
Prof dr Rita Sita Sitorus, PhD, SpM(K), spesialis mata anak dari RS Cipto Mangunkusumo mengatakan deteksi retinoblastoma sebaiknya dilakukan sedini mungkin. Sel kanker belum menyebar ke organ tubuh lain seperti otak sehingga pengobatan pun dapat meningkatkan angka kesintasan.
"Makin dini, makin tinggi angka kesembuhannya, baik secara fungsi, secara ditahannya bola mata nggak diangkat, dan secara kehidupan. Masalahnya di Indonesia (stadium) lanjut," kata Prof Rita ketika ditemui detikcom di Jakarta Pusat, Jumat (3/2).
Ia mengungkapkan banyak kasus retinoblastoma di Indonesia yang menyebabkan kematian. Hal ini bisa terjadi karena misdiagnosis tim medis atau orang tua terlambat membawa anak ke rumah sakit untuk diobati. Sebagian orang tua menolak mata anak diangkat. Mereka menunggu keputusan keluarga besar. Padahal operasi harus segera dilakukan.
"Takut, kulturnya. Kultur kita 'kan tunggu ngomong dulu sama kakeknya, neneknya, tapi 'kan harus cepat nih. 1-2 minggu, terlambat. Begitu dia sudah bengkak, baru datang. Udah lain lagi ceritanya. Target kita sekarang menekan angka kematian, bukan lagi mempertahankan fungsi (mata)," ujar Prof Rita.
Prof Rita menambahkan sebagai upaya deteksi dini, perlu dilakukan screening pada bayi yang keluarganya memiliki riwayat retinoblastoma. Bayi perlu di-screening sejak lahir dan berturut-turut setiap periode tertentu.
Baca juga: Mengapa Kanker Identik dengan Gundul? |
Penyintas kanker anak lainnya pun menceritakan pentingnya peran orang tua terhadap kesembuhan dirinya. Sabrina Alvie Amelia adalah penyintas leukemia. Ketika berumur 3 tahun, awalnya ia merasakan gejala seperti lemas, nyeri dan lesu. Orang tua Alvie segera membawanya ke rumah sakit di Yogyakarta. Diagnosis awal adalah anemia.
Alvie menjalani transfusi darah sekitar dua bulan. Ia pun membutuhkan 40 kantung darah setiap bulannya. Alvie mengaku merasa segar setelah ditransfusi, tetapi kembali lemas setelah pulang ke rumah. Kondisi ini terus berlanjut sampai suatu hari Alvie jatuh di kebun binatang dan tidak bisa berjalan.
"Orang tua curiga kok sampe 3 bulan anemianya nggak sembuh-sembuh. Akhirnya dibawa ke RS Sardjito di Yogyakarta. Tes darah segala macam. Terdiagnosis kanker darah," ungkap Alvie ketika dihubungi detikcom, Senin (13/2).
Kecurigaan dan kecepatan orang tua membawa Alvie berobat membuahkan hasil manis. Alvie mulai menjalani kemoterapi selama 2 tahun dengan masa observasi 5 tahun. Setelah melewati masa observasi, Alvie dinyatakan bebas obat sampai sekarang.
NEXT: Harus langsung periksa begitu ada gejala
(up/up)