Jepang mencatat angka kelahiran paling rendah pada 2022, tercatat sebagai rekor angka kelahiran paling rendah sejak pencatatan pertama pada 1899. Mengacu pada data awal oleh Kementerian Kesehatan, jumlah total kelahiran turun 5,1 persen menjadi 799.728.
Padahal sebelumnya pada 2018, pemerintah memprediksi angka kelahiran baru akan mencapai penurunan ke total di bawah 800 ribu pada 2033 mendatang. Artinya, penurunan angka kelahiran ini terjadi lebih cepat dari yang diperkirakan.
Di samping itu, angka kasus kematian juga telah melampaui kelahiran di Jepang selama lebih dari satu dekade. Walhasil, kini Jepang tengah menghadapi kondisi populasi yang membengkak, sementara jumlah tenaga kerja menyusut. Lebih lagi imbasnya, kebutuhan akan dana pensiun dan perawatan pun meningkat karena populasi lansia yang melonjak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikutip dari CNN, mengacu pada angka terbaru pemerintah, populasi Jepang terus menurun sejak ledakan ekonomi pada 1980-an dan mencapai 125,5 juta pada tahun 2021. Angka kesuburannya kini sebesar 1,3 berada jauh di bawah tingkat 2,1 yang dibutuhkan untuk mempertahankan populasi yang stabil, tanpa adanya imigrasi.
Efek yang Dikhawatirkan
Perdana Menteri Fumio Kishida menegaskan, kini Jepang berada di ambang tidak dapat mempertahankankan fungsi sosial imbas anjloknya angka kelahiran. Lebih lagi, efek yang dikhawatirkannya berkaitan dengan kondisi ekonomi.
Menurutnya, Jepang sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi terkait tindak lanjut untuk anjloknya angka kelahiran.
"Dalam memikirkan keberlanjutan dan inklusivitas ekonomi dan masyarakat bangsa kita, kami menempatkan dukungan pengasuhan anak sebagai kebijakan terpenting kami," beber Kishida dikutip dari CNN, Kamis (2/3/2023).
Mengatasi situasi tersebut, pemerintah membentuk badan baru pada April mendatang yang berfokus pada penyelesaian rendahnya angka kelahiran. Sebelumnya pada Januari, Kishida juga sempat menyebut ingin pemerintah menggandakan pengeluarannya untuk program yang berhubungan dengan anak.
Namun memang, uang saja tidak cukup untuk menyelesaikan masalah multifaktor tersebut. Pasalnya, ada beragam faktor sosial yang memicu rendahnya angka kelahiran. Misalnya yakni biaya hidup yang tinggi di Jepang, kurangnya dukungan pengasuhan anak di kota-kota sehingga warga kesulitan membesarkan anak. Kondisi itu mendorong banyak pasangan enggan untuk memiliki anak.
Di kota-kota, pasangan juga seringkali hidup jauh dari keluarga besar di daerah lain sehingga mereka kesulitan mendapatkan dukungan untuk membesarkan anak.
Di samping itu, sikap dan cara pandang masyarakat Jepang terhadap pernikahan dan keluarga juga telah berubah beberapa tahun terakhir. Selama pandemi COVID-19, banyak pasangan mengurungkan niat untuk menikah dan mempunyai anak. Banyak kaum muda juga pesimis tentang masa depan.
Simak Video "Video: Merebaknya 'Rokok Zombie' di Jepang, Picu Kejang-Hilang Kesadaran"
[Gambas:Video 20detik]
(vyp/kna)











































