Artis Rebecca Klopper merasa dirugikan atas tersebarnya video syur yang menyeret namanya hingga sempat heboh di media sosial. Atas dasar tersebut, ia melaporkan kejadian tersebut ke Bareskrim Polri.
"Hari Senin kemarin tanggal 22 Mei 2023, pukul 16.45 WIB berdasarkan laporan polisi LP/B/113/V/2023/SPKT/BARESKRIM POLRI, penerima kuasa RK melaporkan pemilik akun Twitter @dedekkugem atas dugaan pidana dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat akses pengiriman elektronik dan atau dokumen elektronik yang memuat kesusilaan," ungkap Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan, dikutip dari detikHot, Kamis (25/5/2023).
"Adapun barang bukti yang didapat screenshot akun Twitter @dedekkugem dengan pelapor yaitu penerima kuasa RAPK alias RK yang merupakan korban dari dugaan tindak pidana di atas," sambung Brigjen Ahmad.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kasus Rebecca dikaitkan dengan penyebaran konten intim non konsensual atau nonconsensual dissemination of intimate image (NCII). NCII merupakan tindakan memproduksi (gambar atau video), menyebarkan, serta memproduksi ulang konten tanpa izin (without consent).
Menurut psikolog klinis dan co-founder Ohana Space Veronica Adesla, MPsi ada banyak pemicu mengapa sejumlah orang melakukan NCII.
"Misalnya karena balas dendam, kemudian bisa jadi yang kedua, dia mau melakukan blackmail (pemerasan) gitu ya, untuk bisa mendapatkan uang dari situ. Kemudian bisa juga nih, dia jual ke situs porno," ujar Veronica, dihubungi detikcom, Rabu (24/5/2023).
Veronica menyebut, efek yang ditimbulkan dari perilaku NCII sangat merugikan korban. Selain menyangkut nama baik korban, NCII juga memiliki dampak psikologis sangat besar.
"Entah itu di dalamnya ada trauma, post-traumatic stress disorder (PTSD), anxiety (kecemasan), depression, gitu," kata Veronica.
Dampak negatif yang dirasakan korban tidak hanya sampai situ saja. Korban juga berpotensi kehilangan pekerjaan, dikucilkan, dijauhi, hingga dirundung oleh orang-orang di lingkungannya.
Apa yang Harus Dilakukan Korban NCII?
Meski demikian, menjadi korban NCII bukanlah akhir dari segalanya. Ada sejumlah hal yang bisa dilakukan agar korban bisa bangkit dan beraktivitas seperti sebelumnya, di antaranya:
1. Mencari Bantuan
Support system (sistem pendukung) merupakan hal yang penting dan pertama yang harus dimiliki oleh korban NCII. Support system bisa dari orang-orang terdekat seperti keluarga atau teman.
"Mulailah dari support system yang bisa kita jangkau, yang di sana ada perlindungan rasa aman dan nyaman, bisa mendampingi tanpa nge-judge (menghakimi) dan justru kembali menguatkan," kata Veronica.
NEXT: Mengambil Tindakan Hukum
2. Mengambil Tindakan Hukum
Menurut Veronica, kasus NCII perlu diproses secara hukum. Dalam hal ini, support system berperan sangat penting untuk membantu korban melaporkan kasus tersebut ke lembaga bantuan hukum (LBH) dan kepolisian.
"Tentu dengan bukti-bukti yang juga jangan lupa direkam, tuh. Korban perlu melampirkan bukti-bukti yang ada, kan?" kata Veronica.
"Jadi screenshot chatnya kah, atau kemudian link dari media sosial untuk menyebarkan kah, yang kayak gitu. Nah, bukti-bukti itu harus dikumpulkan ya, dan kalau bisa dibuatkan kronologisnya," sambungnya.
Veronica menyebut korban tidak perlu malu untuk mengumpulkan bukti-bukti tersebut. Pasalnya, menempuh jalur hukum bertujuan agar pelaku jera dan mendapatkan balasan dari apa yang telah ia lakukan.
"Jadi perlu ada support system biar korban nggak merasa sendiri," kata Veronica.
3. Melapor ke Platform Digital
Langkah yang bisa dilakukan oleh korban selanjutnya yaitu melaporkan unggahan atau akun pelaku yang menyebarkan konten tanpa izin. Laporan bisa dilakukan ke platform terkait dengan tujuan untuk menghapus konten yang sudah tersebar sebelumnya.
"Terus kalau misalnya pun ada di web segala macam, bisa dilapor ke Kominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika) bisa," tutur Veronica.
4. Berkonsultasi ke Profesional
Menurut Veronica, dampak psikologis yang dirasakan korban NCII cukup besar. Oleh sebab itu, korban NCII perlu bantuan terapi dari profesional.
"Jadi konsultasi, terapi ke psikolog klinis gitu kan, pendampingan untuk itu," kata Veronica.
Ia menambahkan, setiap orang memiliki waktu yang berbeda untuk pulih. Karenanya, diperlukan dukungan dan pendampingan dari support system hingga korban bisa kembali normal dan menjalani aktivitasnya seperti sedia kala.
"Jadi kita harus sesuaikan dengan phase-nya (alur) gitu. Dampingi sesuai dengan phase-nya," pungkasnya.











































