Riset Nyamuk Wolbachia RI Sudah Sejak 2011, Ini Tahapan dan Hasilnya

Riset Nyamuk Wolbachia RI Sudah Sejak 2011, Ini Tahapan dan Hasilnya

Suci Risanti Rahmadania - detikHealth
Selasa, 21 Nov 2023 09:03 WIB
Riset Nyamuk Wolbachia RI Sudah Sejak 2011, Ini Tahapan dan Hasilnya
Ilustrasi nyamuk (Foto: Getty Images/iStockphoto/Noppharat05081977)
Jakarta -

Dari tahun ke tahun, demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius di Indonesia. Segala upaya program telah dilakukan pemerintah sejak tahun 1970. Namun, memang belum sepenuhnya bisa mengendalikan DBD di Indonesia.

Karena itu, pemerintah saat ini mencoba inovasi baru untuk memberantas DBD atau dengue dengan menggunakan inovasi teknologi wolbachia. Teknologi ini berupa nyamuk aedes aegypti yang diinfeksi dengan bakteri wolbachia untuk mengendalikan penularan virus dengue atau penyebab DBD.

Peneliti Bakteri Wolbachia dan Demam Berdarah dari Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan keperawatan Universitas Gadjah Mada, Prof Dr Adi Utarini, M Sc, MPH, PhD, menjelaskan inovasi teknologi wolbachia digunakan sebagai pelengkap, bukan menggantikan upaya program pemerintah yang ada.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia juga memastikan, bakteri wolbachia yang ada di dalam tubuh nyamuk tak berbeda dengan bakteri yang ada di inang asli di lalat buah. Teknologi Wolbachia tersebut sudah dibuktikan aman bagi manusia, hewan, dan lingkungan.

"Melengkapi upaya yang sudah dilakukan dalam program penanggulangan dengue di Indonesia," imbuhnya dalam media briefing, Senin (20/11/2023).

ADVERTISEMENT

Adapun teknologi wolbachia sendiri sudah dilakukan di Indonesia sejak 2011. Fase pertama dari pengujian dilakukan untuk membuktikan keamanan dan kelayakan dari teknologi wolbachia.

Setelah keamanan dan kelayakan terbukti, riset dilanjutkan pada fase kedua dengan pelepasan nyamuk berskala kecil di dua dusun di Sleman dan dua dusun di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pelepasan nyamuk ini dilakukan dengan persetujuan etik dari penduduk sekitar.

"Kemudian kami juga diharuskan untuk memantau kasus dengue di masyarakat secara aktif," ucap Prof Dr Adi Utarini atau akrab disebut Prof Uut.

"Dan di fase dua ini menghasilkan data bahwa wolbachia itu memang bisa berkembang biak secara alami di populasi alam," ucapnya lagi.

Kemudian pengujian fase ketiga mulai dilakukan pada 2016 dengan pelepasan nyamuk wolbachia pada skala besar. Sebelum pembuktian dilakukan pada dampak teknologi, analisis risiko dijalankan terlebih dahulu oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek dan Dikti).

Pengujian terkait keamanan ini dilakukan secara independen oleh setidaknya 20 pakar terkait dari berbagai bidang yang dibentuk Kemenristek dan Dikti. Hasilnya, risiko intervensi Wolbachia untuk pengendalian dengue pun dapat diabaikan.

Pada 2021, pengujian fase keempat dilakukan sebagai model implementasi. Pelepasan nyamuk Wolbachia pada pengujian fase ini dilakukan ke seluruh Kota Yogyakarta. Hasil pengujian menunjukkan penurunan insiden demam dengue hingga 77 persen dan menurunkan angka rawat inap terkait dengue sampai 86 persen.

Departemen Biostatistik, Epidemiologi, dan Kesehatan Populasi, Fakultas Kedokteran, kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, Dr Riris Andono Ahmad, BMedSc, MPH, PhD mengutarakan, kebutuhan fogging atau pengasapan dengan insektisida terbukti menurun dari dampak pemanfaatan teknologi wolbachia. Hal ini membuat anggaran penanganan demam dengue bisa ditekan.

"Kami teruskan untuk pemantauan dampak jangka panjang dari pemanfaatan teknologi wolbachia sampai 2025. Kami harap intervensi ini bisa mendukung capaian dari eliminasi dengue di Indonesia," tuturnya.

NEXT: Metode teknologi wolbachia yang digunakan di RI

Prof Uut kemudian menjelaskan ada dua macam metode penyebaran wolbachia, yakni suppression dan replacement. Metode penyebaran wolbachia suppression telah digunakan di Singapura dengan melepaskan jantan yang berwolbachia. Hal ini bertujuan agar nyamuk jantan berwolbachia kawin dengan betina yang tak berwolbachia supaya telurnya tidak akan menetas.

Metode ini diharapkan bisa menekan jumlah populasi nyamuk yang ada di alam.

"Untuk mencapai bahwa jumlah populasi nyamuk di alam itu sangat rendah bahkan mungkin tidak ada, itu tantangannya adalah dibutuhkan pelepasan jumlah nyamuk yang sangat-sangat banyak," imbuh Prof Uut.

Namun, bukti setelah beberapa kali pelepasan menunjukkan, ternyata metode tersebut tak bisa berdampak jangka panjang. Hal ini dikarenakan populasi nyamuknya muncul kembali.

Sementara di Indonesia menggunakan teknologi wolbachia dengan metode replacement atau menggantikan. Prof Uut menjelaskan, ketika terjadi perkawinan antara nyamuk dengan bakteri wolbachia dan nyamuk aedes aegypti yang ada di suatu lingkungan, telur dari hasil perkawinan itu akhirnya membawa bakteri tersebut.

Bakteri wolbachia berperan untuk menghambat replikasi dari virus dengue di dalam tubuh nyamuk. Nyamuk yang mengandung bakteri ini pun tidak lagi mampu untuk menularkan virus dengue.

"Jadi, wolbachia diturunkan dari satu generasi (nyamuk) ke generasi berikutnya. Dampak dari perlindungan wolbachia terhadap penularan dengue akan berkelanjutan," tuturnya.

Lebih lanjut Dr Riris menyebutkan, penerapan teknologi wolbachia akan efektif untuk wilayah yang padat penduduk dengan populasi nyamuk cukup tinggi. Sementara jika dilakukan di wilayah dengan populasi nyamuk yang kecil membuat dampak dari teknologi tersebut menjadi kurang efektif.

Penyebaran Nyamuk Wolbachia

Dalam praktik di masyarakat, pelepasan nyamuk yang mengandung wolbachia dijalankan selama periode enam bulan. Setiap dua minggu sekali dalam periode itu akan dilakukan penggantian 150-200 telur nyamuk dengan wolbachia.

Penempatan titik pelepasan nyamuk dilakukan di tiap rumah berjarak sekitar 75 meter. Dalam jangka waktu itu diharapkan 60 persen nyamuk di lingkungan tersebut merupakan nyamuk dengan bakteri tersebut.

"Sebenarnya jumlah nyamuk yang kita lepaskan hanya 10 persen dari jumlah nyamuk yang ada di alam. Dan kita melepaskannya dalam bentuk peletakan telur yang diterapkan di ember, kemudian diberi air, dan dibeli pelet, dan dititip ke orang tua asuh atau rumah orang yang dititipi ember," ucap Prof Uut.

"Kemudian 2 minggu sekali embernya diganti sampai dengan kurang lebihnya 6 bulan. Jadi sedikit demi sedikit dilakukan, dan 6 bulan kemudian pelepasannya dihentikan," imbuhnya lagi.

Halaman 2 dari 2
(suc/up)
Pro Kontra Wolbachia
26 Konten
Nyamuk wolbachia disebar demi menekan angka kasus DBD. Meski terbilang efektif, metode ini juga tak lepas dari kritik pakar.

Berita Terkait