Tiga bulan sejak terbitnya revisi Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2024 yang mewajibkan produsen Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) mencantumkan label peringatan bahaya Bisfenol A (BPA) pada galon air minum berbahan plastik polikarbonat diberlakukan, banyak masyarakat yang dinilai belum menyadari adanya peraturan tersebut.
Hal ini membuat Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Muhammad Mufti Mubarok merasa prihatin terkait hal tersebut dan mendesak BPOM segera menyosialisasikan kebijakan pelabelan BPA pada masyarakat.
"Kami sangat terbantu dengan adanya kebijakan pelabelan BPA ini. Konsumen akhirnya bisa memilih produk yang lebih aman," ujar Mufti, dalam keterangan tertulis, Rabu (17/7/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menambahkan BPKN telah lama menyoroti kandungan BPA yang berpotensi berbahaya dalam kemasan plastik polikarbonat mulai dari kandungannya, kontaminasi ke air, hingga distribusi dan penyimpanan di retail. Dia menyayangkan regulasi anyar tersebut yang belum diketahui masyarakat.
"Kemungkinan pertama, kita harus menyadari bahwa BPOM mungkin agak kesulitan karena pelaku usaha belum siap. Proses produksi ini kan bahan bakunya impor. Kalau diterapkan secepat mungkin bisa kelimpungan, maka itu diberi waktu tenggat sampai empat tahun. Walau begitu, semua harus tetap bergerak. Baik regulator maupun produsen sudah harus mulai melaksanakan atau mempersiapkan implementasi peraturan ini," jelas Mufti.
Mufti menyebut penting bagi BPOM untuk segera melakukan sosialisasi dan kampanye secara masif terutama kepada asosiasi air minum kemasan.
"Menurut saya, BPOM sudah harus melakukan kampanye besar-besaran," kata Mufti.
Selain itu, ia juga menekankan perlu adanya petunjuk teknis atau peraturan turunan untuk membantu produsen mengimplementasikan perubahan ini.
"Teknisnya mau seperti apa karena mengubah bahan kemasan produk AMDK ini kan tidak cepat. Ada proses yang harus dilalui. Produsen harus menghitung ulang alternatif pengganti atau menyiapkan biaya untuk mencetak label BPA di kemasan," tambahnya.
Mufti mengakui dengan banyaknya jumlah produsen AMDK akan sulit menerapkan peraturan ini tanpa adanya sosialisasi yang baik.
"Empat tahun itu kan panjang, ada waktu. Jadi paling tidak harus ada satu brand terkenal yang mulai, sehingga nantinya diikuti perusahaan air minum di daerah. Harus ada satu contoh produk yang sudah mematuhi peraturan ini, sehingga yang lain bisa ikut," ujar Mufti.
Menurut Mufti, untuk sosialisasi peraturan ini dapat dimulai dari brand sehingga BPOM sebaiknya menunjuk brand besar untuk memulai pelabelan ini.
"Kalau tidak dimulai, tidak akan selesai. Sebentar lagi sudah 2025 dan empat tahun tidak terasa. Kami tidak peduli brand apa yang mau mulai. Kami hanya berusaha menegakkan peraturan ini demi masyarakat," tegasnya.
Dari sisi BPKN, Mufti menyatakan kesiapannya untuk membantu BPOM dalam menggaungkan regulasi ini.
"Pertama, kami mendesak BPOM segera melakukan sosialisasi, memberikan petunjuk teknis kepada produsen, dan menyebarkan informasi penting ini kepada konsumen. Kami sangat siap ketika BPOM meminta kami untuk sosialisasi. Komunitas kami di seluruh Indonesia banyak. Kami memiliki LPKSM se-Indonesia, ada komunitas di kampus dan sekolah. Semua siap digerakkan agar edukasi lebih terstruktur, sistemik, dan masif," ungkap Mufti.
Pada 1 April 2024, BPOM telah mengesahkan penambahan dua pasal pada Peraturan tentang Label Pangan Olahan yaitu kewajiban pencantuman label cara penyimpanan air minum kemasan pada Pasal 48a dan kewajiban pencantuman label peringatan risiko BPA pada semua galon air minum yang menggunakan kemasan plastik polikarbonat pada Pasal 61A.
Pasal 61A menyebutkan bahwa air minum dalam kemasan yang menggunakan kemasan plastik polikarbonat wajib mencantumkan tulisan 'dalam kondisi tertentu, kemasan polikarbonat dapat melepaskan BPA pada air minum dalam kemasan' pada label.
Peraturan itu memberi tenggang waktu selama empat tahun bagi produsen galon air minum untuk menyesuaikan diri.
(anl/ega)











































