"Sebenarnya kita di awal, seluruh anak tanpa kecuali jadi bagian dari MBG. Tapi seiring berjalannya waktu, pertumbuhan di berbagai daerah sudah mulai masif, sementara di daerah-daerah tertentu justru masih menjadi tantangan," beber Prof Ikeu dalam sesi bincang detikPagi, Jumat (12/12/2025).
Karena itu, BGN mulai memusatkan perhatian pada wilayah 3T yang aksesibilitasnya terbatas. Demi memastikan pemerataan, standar operasional pelaksanaan (SOP) MBG di wilayah 3T kini dibuat berbeda dengan daerah lainnya.
"Kalau daerah lain minimal harus seribu sampai dua ribu penerima manfaat, kalau 3T tidak. Di sana 50 atau 150 anak pun harus dibuatkan satu dapur," jelasnya.
Menurut Prof Ikeu, keberadaan dapur ini wajib, meski jumlah siswa relatif sedikit, karena prinsip MBG adalah memastikan ketersediaan makanan bergizi yang segar, aman, dan dimasak sesuai kebutuhan harian anak.
Ia menambahkan, pembangunan dapur-dapur di wilayah 3T tidak bisa dilakukan sendiri oleh BGN. Kerja sama dengan pemerintah daerah menjadi kunci, mengingat pemda memiliki data dan pengetahuan lapangan mengenai titik-titik wilayah 3T di daerahnya.
"Pemda lebih tahu 3T itu di mana. Kita sudah MoU dengan berbagai pemda, dan mereka sudah mulai membangun dapur-dapur untuk wilayah 3T," kata Prof Ikeu.
Dengan pendekatan ini, BGN berharap MBG dapat menyasar kelompok anak yang selama ini berada di wilayah dengan keterbatasan akses pangan, sekaligus mempercepat pemerataan pelayanan gizi nasional.
(naf/up)