BPJS Kesehatan Ditalangi Cukai Rokok, Tidak Merokok Tetap Pilihan Terbaik

BPJS Kesehatan Ditalangi Cukai Rokok, Tidak Merokok Tetap Pilihan Terbaik

Khadijah Nur Azizah - detikHealth
Kamis, 20 Sep 2018 15:31 WIB
BPJS Kesehatan Ditalangi Cukai Rokok, Tidak Merokok Tetap Pilihan Terbaik
Peringatan hari tanpa tembakau di India pada tahun 2017 (Foto: Getty Images)
Jakarta - Adanya dana talangan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan dari cukai rokok sebesar Rp 1,48 triliun dinilai sebagai suatu ironi. Sebab, di Indonesia rokok masih menjadi 'penyumbang' masalah kesehatan seperti penyakit jantung, paru-paru, dan kanker.

Dokter jantung dari Eka Hospital, dr Daniel Tanubudi SpJP-(K), setuju bahwa rokok memberikan dampak yang tidak baik untuk kesehatan. Namun ia enggan berkomentar banyak soal keputusan pemerintah untuk menutup defisit BPJS Kesehatan dengan dana dari cukai rokok.

"Tentu saya tidak bisa komen banyak soal itu ya, karena pemerintah mungkin memiliki pertimbangan sendiri untuk pengambilan dana dari cukai rokok," ujarnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT



Dikatakan oleh dr Daniel, kebiasaan merokok harusnya disetop karena selain tidak bermanfaat, merokok juga akan menimbulkan berbagai macam penyakit yang akan meningkatkan biaya kesehatan itu sendiri. Adanya faktor-faktor lain mungkin menjadi pertimbangan tersendiri bagi pemerintah dalam keputusannya.

"Gini ya, kalau dihitung-hitung mungkin bea atau pajak dari rokok tinggi. Tapi akibat yang ditimbulkan secara finansial juga sama tingginya apalagi kalau sudah jatuh sakit," tambahnya.



Lebih lanjut, dr Daniel menyarankan agar pemerintah lebih mengampayekan gerakan hidup sehat daripada menerima biaya dari cukai rokok.

"Dengan hidup sehat pasti biaya untuk kesehatan akan turun juga. Beban pemerintah untuk mengurangi biaya pengobatan akan menurun khususnya dari rokok," tutupnya.



(up/up)
Cukai Rokok untuk Orang Sakit
12 Konten
Dana cukai rokok sebesar Rp 1,48 triliun digelontorkan untuk menambal defisit BPJS Kesehatan. Sejumlah pakar kesehatan menilai kebijakan ini ironis, karena biaya untuk mengobati penyakit diambil dari komoditas yang justru menyebabkan sakit.

Berita Terkait