Bukti nyata stroke bisa menyerang kapan saja adalah Edwin Hartanu (42), seorang pria asal Palembang, Sumatra Selatan (Sumsel). Edwin merupakan penyintas stroke sudah mengalami serangan pertamanya pada usia delapan tahun.
"Jadi nggak ada rasa (gejala) apa-apa," tutur Edwin menceritakan pengalamannya saat pertama kali terserang stroke, saat ditemui detikcom di Jakarta Barat, Selasa, (8/11/2022).
Stroke menyerang Edwin ketika dirinya sedang bersekolah di Sekolah Dasar (SD) Katolik 3, Jl. WR Supratman, Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim) 34 tahun silam, tepatnya pada Sabtu (27/8/1988). Saat ia sedang mengikuti mata pelajaran matematika, tangan kanannya mendadak lemas tak bisa digerakkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Edwin kemudian dibawa ke UKS oleh guru sekolahnya. Beberapa menit setelah itu, ia langsung tidak sadarkan diri.
"Rupanya guru tersebut menelepon orangtua saya dan saya nggak sadar selama dua hari," tutur Edwin.
Setelah sadar, Edwin diberitahukan orangtuanya bahwa bagian tubuh sebelah kanan lumpuh. Kejadian itu terjadi 1988 silam, saat teknologi pengobatan belum canggih, terlebih di Samarinda. Oleh sebab itu, ia dibawa ke Jakarta.
Ia melakukan pengobatan dengan spesialis saraf, dr Priguna Sidharta. Menurut dr Sidharta, penyakit yang dialami oleh Edwin merupakan penyakit langka, sehingga dibawa ke Singapura untuk melakukan pengobatan lebih lanjut.
Idap Aneurisma Otak
Diketahui, penyebab stroke yang dialaminya adalah aneurisma otak. Aneurisma otak merupakan tonjolan berbentuk balon yang terbentuk di pembuluh darah otak. Dari hasil CT Scan, pembuluh darah di otak Edwin pecah.
Selama dua kali setahun, ia rutin pergi ke Singapura untuk berobat. Edwin melakukan tindakan angiografi dan embolisasi. Angiografi merupakan jenis pencitraan medis yang menggunakan sinar X untuk memeriksa kondisi pembuluh darah. Sedangkan embolisasi adalah suatu prosedur medis yang digunakan untuk mengobati berbagai masalah kesehatan dengan cara menghentikan aliran darah pada area tertentu dan biasanya paling sering pada pembuluh darah arteri.
"Setelah diembolisasi, tiap liburan sekolah (SD) hingga libur sekolah SMP saya masih kontrol ke sana (Singapura)," kata Edwin.
Dihubungi terpisah, dokter spesialis saraf RS Pondok Indah (RSPI) Jaksel, Rubiana Nurhayati, menjelaskan bahwa aneurisma biasanya merupakan penyakit kongenital atau bawaan lahir. Aneurisma bisa pecah kapan saja, bahkan tanpa gejala sekalipun.
"Dia (aneurisma) bisa pecah kapan saja tanpa perlu ada trigger," kata Rubiana pada Kamis (10/11/2022).
Kerap kali, pengidapnya tidak menyadari adanya penyakit tersebut. Penyakit ini hanya bisa dideteksi melalui pemeriksaan Magnetic Resonance Angiography (MRA) yakni pemeriksaan radiologi yang memanfaatkan resonansi magnet khusus untuk pembuluh darah (vaskuler).
"Jadi aneurisma ini bisa kita cegah kalau kita sudah tahu gitu," ujar Rubiana.
Mulai Pulih
Kondisi Edwin perlahan pulih, ia kembali bisa mengendarai sepeda, berlari, bahkan berenang. Dikarenakan kondisinya berangsur membaik, ia memutuskan untuk berhenti terapi ke Singapura ketika ia duduk di bangku SMA.
Meskipun berangsur pulih, kondisi Edwin pasca mengalami stroke tidak bisa kembali seperti semula. Kaki dan tangan kanannya masih kaku, sehingga ia beraktivitas menggunakan tangan kiri.
"Baik-baik saja (tangan dan kaki kanan) tetapi, nggak bisa kembali normal," ujar Edwin.
Mengalami Dua kali Stroke
Edwin menjalani hidupnya seperti biasa, hingga ia duduk di bangku perguruan tinggi. Selama ia berkuliah, ia tinggal di kos dan menjalani gaya hidup kurang sehat.
Makanan yang ia konsumsi kurang sehat dan juga sering bergadang untuk belajar atau mengerjakan tugas. Akibatnya, Edwin seringkali mengalami sakit kepala atau migrain.
"Saya bergadang itu bukan cuma sampai subuh. Kadang sampai pagi besoknya," tutur Edwin.
Frekuensi sakit kepala yang dirasakan oleh Edwin cukup sering hingga akhirnya ia mengalami stroke kedua kalinya pada 2003. Edwin yang berusia 23 tahun, mengalami serangan stroke ketika berlibur ke rumah kakeknya di Palembang.
Ketika diperiksa, terdapat perdarahan di otak kecil. Kondisi ini jauh lebih parah ketika ia terserang stroke pertama pada saat usia 8 tahun.
Setelah mengalami stroke kedua, Edwin tidak bisa menggerakkan tubuh bagian kanannya sama sekali. Selain itu, mata kanan Edwin juga tidak berfungsi secara maksimal.
"Saya juga mengalami halusinasi," kata Edwin.
Selama sebulan perawatan, ingatan Edwin juga sempat hilang. Ia lupa nomor handphone, pin ATM, hingga status kuliahnya yang tinggal mengerjakan skripsi.
"Kalau dipaksakan (untuk mengingat), kepala saya sakit banget," pungkas Edwin.
Lima tahun setelah stroke kedua, terdapat gelembung di pembuluh darah otak Edwin.
Beruntungnya, Edwin tidak mengalami serangan stroke untuk ketiga kalinya.
Pengobatan yang Dilakukan
Saat ini, Edwin tidak mengonsumsi obat dokter. Lantaran ia mengalami alergi. Namun, ia mengonsumsi Multivitamin, Vitamin C, dan obat kolesterol Atorvastatin.
"Kalau Atorvastatin nggak rutin, soalnya harus diminum sebelum tidur (agar obatnya bekerja maksimal)," kata Edwin.
Agar tidak terulang kembali, Edwin melakukan antisipasi. Pencegahan yang dilakukan oleh Edwin yaitu tidur cukup dan makan makanan sehat.











































