Namun, bagi beberapa pihak itu bukanlah cara terbaik untuk mendapatkan efisiensi, justru disebut bisa merugikan masyarakat Indonesia karena dibatasinya pelayanan katarak, bayi baru lahir, dan rehabilitasi medik.
Menurut Wakil Ketua Komisi Kebijakan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Ahmad Anshori, dalam hal kekurangan atau defisit yang dialami BPJS Kesehatan seharusnya diselesaikan oleh pemerintah sesuai dengan Undang-undang No. 40 tahun 2004 Pasal 48.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Anshori menjelaskan cara perhitungan defisit yang seharusnya dipenuhi oleh pemerintah. Pada 1 Januari 2014, DJSN sendiri merekomendasikan iuran setiap bulannya untuk kelas 3 sebesar Rp 36.000, namun pemerintah menetapkan Rp 19.000. Kini perhitungannya pun naik menjadi hampir Rp 50.000.
"Semua sudah ditetapkan, anggaplah tetapan barunya 40 ribu (rupiah). Lalu pemerintah menetapkan 25 ribu (rupiah) saja, kenapa? Karena kami ingin melindungi masyarakat, kami ingin populer nggak memberatkan, silahkan, it's a choice. Tapi kan bisa dihitung, 45 ribu (rupiah) dikurang 25 ribu (rupiah), kekurangannya 15 ribu (rupiah) dikali 200 juta orang, itu satu bulan. Dikalikan," jelasnya.
"Siapkanlah itu untuk dipenuhi, bukan di akhir tahun, kalau di akhir tahun kesusahan dong membayar ke faskes (fasilitas kesehatan). Kalau kekurangannya lebih dari itu, baru itu masalah pengurusnya. Kekurangannya kan masih normal," lanjut Anshori.
Anshori berharap Presiden Joko Widodo bisa dengan cepat menyelesaikan permasalah ini tanpa harus diterapkan peraturan baru BPJS Kesehatan tersebut. Alternatif cara yang bisa dilakukan pemerintah yaitu menaikkan iuran per bulannya.
"Meningkatkan iuran itu suatu pilihan. Yang penting menghitung secara benar," tuturnya.
Bagi Anshori, penetapan biaya iuran adalah bagian dari struktural yang tidak wajar sejak hari pertama diberlakukannya program BPJS Kesehatan. Iuran minimal disebutnya merupakan keseimbangan antara pendanaan dan manfaat.
Simak Juga D'Tutorial Cara Menggunakan BPJS: