Ia mengaku heran produk yang sebelumnya sudah mendapat izin edar BPOM RI dan tidak bermasalah, mendadak menyebabkan lebih dari 300 kasus anak terkena gagal ginjal akut.
"Apa penyebab atau bagaimana caranya barang yang dulunya sudah mendapatkan izin edar, dulunya tidak bermasalah, tapi saat ini produk mengandung etilen glikol di luar ambang batas," tanya dia dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI Selasa (2/11/2022).
"Apakah ada permainan dari supplier, ataukah industri farmasi yang nakal atau lolos dari pengawasan BPOM RI atau ada kesengajaan?," lanjut dia.
Menjawab itu, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI) Penny K Lukito menyebut temuan awal mengarah pada perubahan sumber bahan baku pada dua industri farmasi, yang tidak melapor. Setelah ditelusuri, kandungan cemaran etilen glikol dan dietilen glikol di salah satu obat, bahkan mencapai 48 mg/ml, ratusan kali lipat di atas standar Farmakope yakni 0,1 mg/ml.
Mengapa Bisa Lolos?
Penny menyebut hingga kini belum ada standar atau otoritas obat di dunia yang menetapkan regulasi pengujian cemaran EG dan DEG dalam produk jadi. Karenanya, pengujian tidak dilakukan.
Terlebih, bahan baku obat yang disupply ke Indonesia, khusus terkait polietilen glikol dan propilen glikol berada di bawah pengawasan Kementerian Perdagangan lantaran pelarut tersebut juga digunakan untuk tekstil, seperti cat dan sebagainya.
Meski begitu, Penny mengaku hal ini menjadi pelajaran untuk membuat regulasi baru agar tidak terjadi kasus serupa di masa mendatang.
"Kembali lagi, cemarannya belum bisa kami uji, tidak ada standarnya, SOP-nya yang nasional maupun internasional. Karenanya, kelihatannya harus kita ubah dengan kondisi yang ada,"
NEXT: Tidak ada perbedaan antara BPOM dan Kemenkes
Simak Video "Video: Angka Penyalahgunaan Ketamin di Bali Jadi yang Paling Tinggi"
(naf/up)