Kisah dimulai dengan penuturan dari Seliawati (38), sebagai perwakilan dari komunitas Korban KIPI, seorang ibu asal Yogyakarta yang kehilangan anaknya usai melakukan imunisasi DPT (Difteri, Pertusis, dan Tetanus) fase II. Saat itu bayinya yang berusia 8 bulan dinyatakan sebagai bayi yang sehat.
Ia menceritakan bahwa awalnya ia tidak panik karena demam yang dialami usai imunisasi adalah wajar. Namun kekhawatirannya menjadi ketika napas si bayi mulai cepat dan pukul 3 pagi mata si anak berubah juling.
"Lalu yang saya pertanyakan seperti ini, Kalau memang ada efek samping berat tenaga kesehatan tidak memberikan edukasi kepada keluarga. Saya mengikuti vaksin (anaknya divaksin) karena lihat di TV, kemenkes bilang aman, dari MUI, oh ini demi kebaikan anak saya," tuturnya.
Kami bukannya ingin menghentikan vaksin, tapi kami ingin vaksin itu dievaluasi,Seliowati (38) orangtua dari komunitas Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) |
"Kami semua korban ini bukannya antivaksin, tetapi kami ini adalah korban setelah divaksin. Kami bukannya ingin menghentikan vaksin, tapi kami ingin vaksin itu dievaluasi," tegas Seli.
Tak hanya Seli, dr Susilorini, Msi.med, SpPA yang hadir dalam acara tersebut juga mendorong adanya pemeriksaan lebih lanjut untuk KIPI agar penanganannya juga lebih maksimal.
"Investigasinya jangan hitungan hari, jadi harusnya komnas KIPI melakukan investigasi dengan jelas karena data itu dibutuhkan untuk pengembangan program. Bagaimanapun vaksin kan produk farmasi mengandung risiko, kalau tidak ada data tetap dianggap aman," ujarnya.
Saksikan juga video 'Vaksin Palsu Beserta Dampak yang Ditimbulkannya':
(ask/up)